Yakinlah!
Hidup
memang medan ujian. Setiap kita pasti mengalami kondisi buruk dan
sempit sebagai bagian dari kehidupan. Tapi ujian kesempitan itu tidak
berarti sebagai beban, hukuman atau kesulitan yang tak mempunyai arti di
sisi Allah swt. Ujian yang di alami setiap hamba Allah swt, sebenarnya
salah satu bentuk kebaikan Allah swt. Korelasi ujian dan kebaikan Allah
swt itu jelas dipaparkan Rasulullah saw, “Barangsiapa yang dikehendaki Allah kebaikan pada dirinya maka Dia menimpakan cobaan kepadanya.” (HR Bukhari)
Berikut
adalah beberapa alasan agar kita yakin setiap kesulitan pasti beriring
kemudahan. Dan setiap kesempitan pasti mendatangkan yang lebih baik.
1. Lebih baik karena bisa mendatangkan lipatan pahala.
Musibah,
ujian dan kesulitan dalam hidup ini sebenarnya syarat agar kita bisa
meraih sesuatu yang lebih baik, antara lain mendapatkan lipatan pahala
dari Allah swt. Berbeda dengan kenikmatan, kesempitan adalah sesuatu
yang tidak disukai hawa nafsu. Berat rasanya saat menghadapi kondisi
musibah dengan kerugian yang tak mungkin dilukiskan. Tapi jika seseorang
mampu bersabar menghadapi kesulitan dengan melawan kehendak hawa
nafsunya, berarti dia mampu menahan diri dalam kondisi sulit, maka Allah
awt akan mengganjarnya dengan surga. Sesungguhnya surga hanya bisa di
raih dengan sesuatu yang tidak disukai hawa nafsu manusia. Rasulullah
saw bersabda, “Surga itu dikelilingi dengan hal-hal yang tidak
disukai (oleh hawa nafsu) dan sedangkan neraka itu dikelilingi dengan
hal-hal yang disukai hawa nafsu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Surga itu dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai (oleh hawa nafsu) dan sedangkan neraka itu dikelilingi dengan hal-hal yang disukai hawa nafsu.(HR. Bukhari dan Muslim)
Kesabaran
dan keridhaan kita menerima musibah adalah kunci untuk membuka pintu
surga, dan tidak ada baladan bagi orang yang bersabar dan ridha menerima
takdir Allah melainkan surga. Allah swt berfirman dalam hadits Qudsi,
“Tiada suatu balasan yang lebih pantas di sisi-Ku bagi hamba-Ku yang
beriman, jika Aku telah mencabut nyawa seseorang yang disayangi-nya dari
penghuni dunia ini kemudian dia bersabar atas hal itu melainkan surga.” (HR. Bukhari)
Saat
kita dilanda musibah apapun bentuknya, ketika kita terbaring sakit,
merasakan kesempitan hidup, terluka, terdzalimi, kehilangan orang yang
dikasihi, ingatlah bahwa Allah swt sedang menganugerahkan bentuk
cinta-Nya kepada kita. Renungkanlah hadits Rasululullah saw,
“Sesungguhnya besarnya pahala tergantung seberapa beratnya ujian, Dan
sesungguhnya Allah apabila mencintai suatu kaum, maka Dia menguji
mereka, barangsiapa yang ridha (menerima cobaan dan ujian itu), maka dia
mendapatkan keridhaan, dan barangsiapa yang murka (tidak ridha menerima
cobaan dan ujian itu), maka dia mendapat kemurkaan.” (HR. At Tirmizi)
2. Lebih baik karena bisa menghapuskan dosa.
Kesempitan,
rasa sakit secuil apapun bagi seorang Mukmin pasti memberi efek
kebaikan pada dirinya. Rasulullah saw menyebutkan, bahwa semua rasa
sakit yang dialami seorang Muslim bisa menaikkan derajat orang tersebut
di sisi Allah swt, dan menghapuskan kesalahan orang tersebut.
Perhatikanlah sabdanya, “Tiadalah seorang Muslim tertusuk duri atau
yang lebih dari sekedar itu, melainkan ditetapkan baginya karena hal itu
satu derajat dan menghapus pula satu kesalahan karena hal itu.” (HR. Muslim)
Lihatlah sabda Rasulullah saw lain, yang menyebutkan,
“Bencana selalu menimpa seorang Mukmin dan Mukminah pada dirinya,
anaknya dan hartanya, sehingga dia bertemu dengan Allah, dalam keadaan
tidak memiliki kesalahan.” (HR. At Tirmizi, Ahmad dan Al Hakim). Rasulullah saw juga bersabda, “Tiada
seorang mukmin yang mengalami kesusahan terus menerus, kepayahan,
penyakit dan juga kesedihan, bahkan sampai kepada kesusahan yang
menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengan hal itu dosa-dosanya.” (HR Muslim)
Tiada seorang mukmin yang mengalami kesusahan terus menerus, kepayahan, penyakit dan juga kesedihan, bahkan sampai kepada kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengan hal itu dosa-dosanya.(HR Muslim)
Bahkan
boleh jadi kita dalam catatan takdir termasuk orang yang mempunyai
kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi Allah swt, dan kita tidak
mungkin bisa mencapai derajat mulia dan tinggi itu kecuali setelah kita
mendapatkan kesulitan dan kesempitan. Kita juga tidak bisa mengandalkan
amal ibadah yang dilakukan untuk bisa mendapatkan posisi terhormat di
sisi Allah, karena ibadah yang selama ini kita lakukan tidak lah cukup
untuk membawa kita pada kedudukan mulia itu. Lalu, Allah swt memberikan
ujian, cobaan berupa kesempitan dan kesulitan yang bisa mengantarkan
kita pada keridhaan Allah swt.
Terkadang,
ujian itu juga datang melalui beragam tantangan dan pengorbanan yang
kita lakukan di jalan Allah swt, yang tidak habis-habis. Lalu kita
bersabar dan tetap berprasangka baik kepada Allah swt, dan hal itulah
yang menyebabkan kita mendapat kedudukan tinggi di sisi Allah swt.
Perhatikanlah baik-baik keterangan terkait hal ini dari hadits yang
disampaikan Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya
seseorang benar-benar memiliki kedudukan di sisi Allah, namun tiada
suatu amal apapun yang bisa menghantarkannya ke kedudukan tersebut, maka
Allah memberikan cobaan kepadanya secara silih berganti dengan sesuatu
yang tidak dia sukai, sehingga Allah mengantarkannya untuk sampai kepada
kedudukan tersebut.” (HR. Abu Ya’la, Ibnu Hibban Al-Hakim)
3. Lebih baik karena bisa menambah keimanan, ketundukan dan kepasrahan pada Allah.
Al-Qur’an
menyebutkan manusia mempunyai karakter zaluumun kaffar, yakni zalim dan
kufur terhadap nikmatbAllah swt. Banyak di antara kita yang lupa
menjalani kewajiban bersyukur kepada Allah swt, meski telah diberikan
guyuran kenikmatan yang banyak. Malah justru yang sering dirasakan
manusia adalah, menganggap diri sendiri selaku orang yang paling berat
masalahnya, paling berat beban hidupnya, paling sulit kondisinya. Kita
kerap merasakan mendapat musibah, kesulitan, ujian yang sungguh berat,
tapi melupakan ragam kenikmatan, kemudahan, dan kemurahan Allah swt yang
sangat jauh lebih banyak. Dan kenikmatan, kemudahan serta kemurahan itu
bisa dirasakan ketika kondisi sudah berubah menjadi sebaliknya.
Kenikmatan
dan kemudahan sering memancing diri untuk bersikap sombong, angkuh,
bangga dan ujub lantaran seseorang merasa ia bisa melakukan apa saja
yang diinginkan. Namun dengan adanya musibah dan ujian yang Allah swt
berikan, maka penyakit-penyakit hati seperti itu bisa sirna, lalu jiwa
menjadi bersih karena rahmat dan karunia Allah. Imam Ibnul Qayyim
rahimahullah mengatakan, “Hati dan ruh bisa mengambil pelajaran yang
bermanfaat dari penderitaan dan penyakit, kebersihan hati dan ruh itu
tergantung sejauh mana penderitaan jasmani dan kesulitannya.” Lebih lanjut ia mengatakan, “Kalau
bukan karena cobaan dan musibah di dunia ini, niscaya manusia terkena
penyakit hati seperti: al kibr (kesombongan), al ujub (bangga diri), dan
al qaswah (keras hati). Padahal sifat-sifat itulah uang menyebabkan
kehancuran bagi seseorang di dunia dan di akhirat. Di antara rahmat
Allah, kadang-kadang manusia tertimpa musibah, shingga dirinya
terlindungi dari berbagai penyakit hati dan terjaga kemurnian
ubudiyyahnya (kepada Allah). Mahasuci Allah yang merahmati manusia
dengan musibah dan ujian.” (Tuhfatul Mariidh/25)
Maka,
harusnya kesulitan dan musibah mendorong kita lebih merasakan
kekerdilan di hadapan Allah swt. Ketika itulah kita lebih mendalami
makna ketundukan, kepasrahan dan ketawakkalan kepada Allah swt.
Terbitlah kembali sinar keimanan dalam diri kepada Allah swt. Hangatlah
jiwa dengan kedekatan kepada Allah swt. Jika itu terjadi, sesungguhnya
ketika itulah rahmat Allah swt turun kepada orang tersebut. Allah
berfirman : “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul kepada
umat-umat sebelummu, kemudian Kami timpa mereka dengan kesengsaraan dan
kemelaratan, supaya merka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk dan
merendahkan diri.” (QS. Al-An’am:42)
Majalah Tarbawi, 9 November 2007
dari:www.voa-islam.com
0 komentar:
Posting Komentar