Selamat Datang di blog DPRa PKS Bendan Duwur, Gajahmungkur, Semarang

Buku Tamu

Kamis, 16 Mei 2013

KISAH PENUNGGANG KELEDAI


Segala Puji Bagi Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Semoga Shalawat serta salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad beserta keluarganya, para sahabatnya dan ummatnya yang setia kepada ajaran yang dibawanya hingga akhir zamman. Amma ba’d.

Imam Ahmad Ibn Hambal rahimahullah ta’ala pernah menyatakan bahwa, “Mencari ridho manusia merupakan suatu puncak yang tak kan pernah dapat dicapai”. Kata-kata ini singkat namun mendalam dan penuh makna. Maksudnya adalah, apabila kita melakukan sesuatu hal ataupun berbicara tentang sesuatu hal, tentulah tak kan pernah mungkin seluruh manusia secara aklamasi (kompak) menyatakan setuju dengan apa yang kita bicarakan atau apa yang kita lakukan, walau itu kebaikan sekalipun.

Pembahasan ini lebih ditekankan kepada para pemimpin yang salah satu tugasnya adalah memberikan keputusan, maka pemimpin itu harus tegas terhadap keputusan yang kita buat. Bukan saja untuk para pemimpin, namun kita sebagai ummat yang diperintah untuk berdakwah, yang sangat mungkin untuk berpendapat tentang sesuatu hal, maka kita juga harus berani mengatakannya bahwa yang baik adalah baik dan yang buruk adalah buruk, sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam...” (Muttafaq ‘alaih).

Apabila dalam memutuskan perkara ataupun dalam berpendapat, kita mencari persetujuan manusia/anggota organisasi secara totalitas, maka kita tak kan pernah mampu untuk memberikan keputusan atau pendapat itu kecuali sangat jarang kita temui. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam saja ditentang setiap pendapatnya, padahal Beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah Nabi dan Rasul, ucapannya pasti benar dan baik, apalagi kita orang awam pastilah banyak pertentangan diantara pendapat kita walau itu merujuk Al-Qur’an dan Sunnah serta berpikiran seperti pemikiran para sahabatnya sekalipun. Maka disinilah pentingnya memegang prinsip dalam hidup, sehingga sebagai Muslim kita harus benar-benar berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah berdasarkan apa yang telah dicontohkan para sahabatnya dan orang-orang shalih terdahulu maupun saat ini walau konsekuensinya adalah ‘bagai menggenggam bara api’.

Ada suatu kisah menarik yang sangat indah, kisah ini dari orang-orang terdahulu dan disampaikan secara beruntun. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui, apakah ini kisah nyata ataukah hanya kiasan (dongeng) belaka, namun kisah ini memberikan suatu makna yang dapat ditarik benang merahnya dan dijadikan pelajaran bagi kita semua.

Kisah Penunggang Keledai:
Terdapat seorang ayah beserta anaknya sedang melakukan perjalanan jauh dengan seekor keledainya. Desa demi desa ia lalui, pematang demi pematang ia lewati dan wilayah demi wilayah ia singgahi.

Karena keledai yang mereka miliki hanya seekor, maka mereka pun memutuskan untuk bergantian menaikinya. Setelah beberapa hari melakukan perjalanan, akhirnya mereka melihat ada suatu perkampungan yang dihuni oleh banyak penduduk dan mereka berencana singgah di tempat itu. Dengan perasaan penuh keyakinan mereka akan memasuki perkampungan itu dengan nyaman, saat itu yang menunggang keledai adalah Sang Ayah dan anaknya yang menuntun keledainya. Tatkala singgah di suatu perkampungan itu, betapa mereka bagai disambar petir, ternyata orang-orang kampung banyak yang menggunjingnya, bahkan ada yang menasehatinya secara langsung, “Anda ini seorang ayah yang tega sama anaknya, masak anaknya disuruh jalan kaki sedangkan dirimu enak-enakan duduk di atas keledai?”. Mendengar kritikan tajam ini sang ayah pun mengiyakan mereka.

Mereka pun pamit pergi meninggalkan perkampungan itu untuk melanjutkan perjalanan, sesuai pendapat orang kampung yang mereka singgahi sebelumnya, akhirnya anaknya yang di atas keledai dengan ayahnya yang terus berjalan kaki, mereka pun melihat perkampungan selanjutnya. Betapa terkejutnya mereka, tatkala mereka singgah di perkampungan itu mereka juga mendapat kritikan yang luar biasa tajamnya, “Apakah anak Anda itu kurang ajar?! Masak Anda seorang ayah disuruh berjalan, sedangkan anak Anda menaiki keledai. Didiklah kesopan santunan pada anak Anda!”. Mendengar kritikan ini, Sang Ayah pun mengiyakan mereka kembali.

Akhirnya mereka pun akan meninggalkan desa itu untuk melanjutkan perjalanan mereka. Mereka berdua mendapatkan inisiatif untuk menaiki sang keledai. Perjalanan pun sampai kepada perkampungan selanjutnya dan ia mampir di perkampungan itu, alangkah terkejutnya mereka, tatkala mereka pun mendapat kritikan yang tidak kalah tajamnya dengan yang sebelumnya. Penduduk kampung itu berkata, “Alangkah kejamnya kalian ini, masak keledai kecil dan kurus seperti itu kalian naiki berdua?!”. Sang Ayah pun mengiyakan mereka.

Mereka pun akan berpamitan pergi untuk melanjutakan perjalanan berikutnya. Mereka memiliki inisiatif untuk menunutun saja keledai itu, sementara mereka berdua berjalan kaki. Tatkala mereka memasuki perkampungan selanjutnya, alangkah terkejutnya mereka. Ternyata mereka pun masih mendapat kritikan yang tak kalah hebatnya, sedangkan mereka ingin agar semua orang yang ia singgah di tempat itu memujinya atau minimal menerima inisiatif mereka. Penduduk perkampungan itu mengatakan, “Kalian ini melakukan hal yang sia-sia, kalian memiliki keledai yang bisa kalian tunggangi. Masak kalian jalan kaki sementara keledai itu tidak membawa beban kecuali barang-barang kalian saja?!”.Sang ayah pun mengiyakan mereka.

Pikiran sang ayah sudah tidak karuan lagi, setiap sudut desa dan perkampungan selalu saja ada pendapat yang menyalahkan mereka. Sedangkan sang anak adalah diam dan tidak berani berkata-kata. Akhirnya mereka berpamitan untuk melanjutkan perjalanan, Sang Ayah mendapat inisiatif, bagaimana bila keledai ini dipikul saja, sementara kita memanggulnya. Akhirnya mereka sampai di suatu perkampungan, tentu saja orang-orang kampung itu heran dan tertawa, akhirnya mereka pun bertanya, “Ada apa kalian tertawa?”, orang-orang kampung menjawab, “Kalian ini masih sehat kan? Tidak gila? Masak kalian melakukan shafar dan memiliki keledai, namun kalian yang malah memikulnya?”. Betapa bingungnya Sang Ayah ini.

Nah dari cerita yang pendek ini, apakah yang terpikirkan oleh Para Pembaca Sekalian? Dan apakah solusinya? Silahkan jawab pada diri Anda masing-masing...
Selamat berfikir dan semoga kisah ini bisa mencerahkan

Alhamdulillah hamdan katsiro mubarokan fih, Allahumma Shali ‘ala Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahabihi wa ummatihi minal yaumil akhirin.


@nd
Rujukan:
1. Ibnu Daqiq Al-‘Ied. Syarah Hadits Arba’in Imam Nawawi. 2001. Media Hidayah: Yogyakarta.

http://swaranda.blogspot.com/2011/01/kisah-penunggang-keledai.html

0 komentar:

Posting Komentar

 

PKS TV

BEKERJA UNTUK INDONESIA

BEKERJA UNTUK INDONESIA

Dikelola oleh Pengurus DPRa PKS Bendan Duwur Semarang

Slide Gallery